Sabtu, 15 Juli 2017

Tradisi Penggal Kepada Suku Dayak

Garasisejarah - Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulai Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat Maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban dan Suku Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat ngayau. Pada tradisi Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. CItra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau). Karya Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai "orang-orang pemburu kepala".

http://garasigaming.com/

Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantaran jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 : 203)

Menurut lebar (1972:171), dikalangan masyarakat kenyangh, pemburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan kepala yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prahjurit perang. 

Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus. Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, Berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang. 

Di masa lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan sebagai pemburu kepala yang paling terkenal di Kalimantan. Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku Dayak Iban juga melakukan upacara pemburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat teligius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senan (lebar, 1972 : 184).

Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa di jelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia, Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah di keringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru di penggal cukup kuat untuk menyelamatkan santero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah di bubuhi ramu-ramuan bila di manipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat, Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan di perulukan sebuah tengkorak yang baru. 

Sementara itu Mc Kinley mneggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian. 

Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain di ambil. Mc Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial. Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi yang harus di klaim oleh komunitas orang itu sendiri. 

Tidak semua suku dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau, seperti halnya Suku Dayak Maayan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarka cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuk yang dijadikan target sasaran mereka, Apabila kepala pimpinan nya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang. 

Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumabng Anoi. Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Dalam Musyawarah yang konon berlansung berbulan -bulan lamanya itu, masyarakat Dayak di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan tradisi mengayau. Karena di anggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku Dayak, Akhirnya, dalam musyawarah tersebut segala peselisihan dikubur dan pelakunya di denda sesuai dengan hukum adat Dayak. 

Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dan tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelpmpok Dayak yang merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan, pemotongan kepala.ngayau kembali muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda Kalimantan Barat dan Kalimantan tengah beberapa tahub lalu....


Demikian lah sedikit ringkasan tentang Tradisi Penggal Kepala Suku Dayak, Semoga dapat menambah wawasan kita semua. 
Shared Jika Bermanfaat...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar